Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda

0
Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda
Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda

Jatiarjo adalah salah satu desa yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Desa yang terletak di lereng Gunung Arjuno ini memiliki iklim yang sejuk dan tanah yang subur. Oleh karenanya, di Jatiarjo tersimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, khususnya di bidang pertanian dan perkebunan.

“Kesuburan tanah membuat Jatiarjo memiliki banyak komoditas. Yang paling banyak di sini adalah kopi, nangka, gadung dan sayuran organik,” papar Syamsuri, tokoh pemuda Jatiarjo.

Sejarah mencatat bahwa potensi Jatiarjo telah dikenali oleh Pemerintah Kolonial sejak era tanam paksa. Belanda mendatangkan orang-orang dari Madura untuk dibawa ke desa ini. Mereka dipaksa untuk menanam sayur-sayuran, palawija, tanaman tegakan hutan hingga buah-buahan.

Jejak-jejak peristiwa tanam paksa itu masih bisa terlihat hingga saat ini. Dua dari tiga dusun di Desa Jatiarjo (Tegal Kidul dan Tonggowa) dipenuhi warga keturunan Madura. Ragam pertanian dan keberadaan warga keturunan Madura tersebut menjadi bukti bahwa kesuburan tanah dan kondisi iklim merupakan potensi yang sudah ada sejak lama.

Selain budi daya komoditas tersebut di atas, di Jatiarjo juga terdapat kegiatan budi daya tanaman kopi. Tepatnya di Dusun Cowek, komoditas ini dibudidayakan di lahan milik Perhutani. Menurut Mochammad Tha’im, salah satu petani kopi di Dusun Cowek, sejarah tanaman kopi dimulai puluhan tahun yang lalu atau berbarengan dengan periode awal dibangunnya Taman Safari Indonesia 2.

BACA :  Kamu suka Travelling? Ini 7 Jenis Responsible Tourism Yang Harus Kamu Ketahui

Pembangunan kawasan Taman Safari Indonesia 2 di Jatiarjo membuat banyak warga kehilangan lahan pertaniannya. Oleh karenanya, para warga setempat mulai menanami lahan Perhutani tanpa izin. “Mulanya, petani semacam merampas lahan dari Perhutani lantas menggarap lahan hutan dengan tanaman palawija. Tanaman palawija ini kemudian sering dicabuti oleh mandor Perhutani. Tak jarang, terjadi konflik antara petani dan pihak Perhutani,” ujar Tha’im.

Lambat laun konflik antara keduanya mulai mereda. Hal tersebut terjadi pasca diwujudkannya kesepakatan antar keduanya. Kesepakatan tersebut berisi petani boleh bercocok tanam di lahan Perhutani asalkan tidak mengganggu tanaman tegakan. Hingga akhirnya, dari kesepakatan tersebut, tanaman kopi dipilih karena dirasa tidak mengganggu tanaman tegakan dan juga menguntungkan petani.

Lebih lanjut, Tha’im menjelaskan bahwa status lahan Perhutani yang digarap oleh warga Jatiarjo adalah lahan kelola bukan hak milik. Lahan Perhutani yang dikelola oleh petani desa ini kurang lebih seluas 350 hektar. Luasan tersebut menjadi garapan bagi 500 petani.

Ada sebuah hal unik dari cerita Tha’im mengenai luasan lahan garapan tersebut. Ia menceritakan bahwa luasan hak kelola oleh masyarakat tergantung siapa yang lebih banyak mbabat (membuka lahan) hutan. Tidak pernah ada pertentangan antar masyarakat meski luas lahan yang mereka garap berbeda-beda. Bagi orang yang sejak awal membuka lahan luas, hingga kini ia mengerjakan lahan yang luas pula. Sebaliknya, bagi yang membuka lahan sempit, hingga kini ia menggarap lahan yang sempit.

BACA :  Mursala: Surga di Tapanuli

“Jadi, dulu itu kalau sudah ada orang membuka lahan dengan luasan tertentu meskipun sudah ditinggal beberapa bulan, asal ada penanda maka tidak akan ada warga lain yang mengakui bahwa itu adalah lahannya. Ibaratnya ditanami pisang satu batang saja, itu sudah menjadi penanda. Tidak ada yang boleh mengaku-ngaku atas lahan itu,” ujar pria yang juga menjabat sebagai ketua Kelompok Tani Rejo Tani.

“Kelompok Rejo Tani diketuai oleh Tha’im. Jumlah anggota aktif sebanyak 25 anggota. Masing-masing dari anggota menggarap lahan antara 1 hingga 2 hektar dengan jumlah tanaman kopi masing-masing anggota berkisar antara 2000-3000 tanaman.”

Sampai hari ini, hasil panen komoditas kopi hanya dipasarkan dalam bentuk bijian. Setelah panen kopi melalui proses pengeringan dan pengupasan kulit luar, hasil panen langsung dijual. Hal ini dilakukan karena memang belum tersedia alat untuk memproses lebih lanjut. “Saya pribadi berharap agar ada bantuan berupa alat dan pelatihan sehingga pengelolaan pasca panen kopi lebih bisa dimaksimalkan,” terangnya. [Aris, Fahrul]

Author: Redaksi