Karnadi, Sosok Dibalik Kelompok Tani Dwi Tunggal

0
Dokumentasi Program PADI Averroes 2017

Tubuh tinggi tegap, kulit sawo matang dan kumis yang tebal adalah segelintir ciri fisik untuk menggambarkannya. Dengan ciri macam tersebut di atas, ia sekilas mirip dengan tokoh pewayangan bernama Gatotkaca. Ialah Karnadi, salah satu petani kopi yang cukup dikenal di Desa Kalipucang.

Sebagai putra asli Kalipucang, Karnadi sejak lama bergelut dengan dunia pertanian. Orang tuanya petani, dan kini, ia pun menjadi seorang petani. Jika diperbolehkan memberikan persentase, bisa jadi, hampir sembilan puluh persen hidupnya berkutat dalam ranah (sebagai, dari, untuk dan oleh) petani.

Bersama keluarganya, Karnadi tinggal di Dusun Cikur, Desa Kalipucang. Untuk sampai di rumahnya, berbagai rintangan harus dihadapi. Jalan tanah terjal dan sempit ditambah genangan air hujan menjadikan perjalanan harus hati-hati. Setelah naik turun melewati jalan tanah, hutan pinus dan hamparan tanaman kopi sudah menunggu. Hingga akhirnya, pasca melewati hutan pinus akan nampak kawasan perkampungan. Dan di situlah Karnadi bersama keluarganya tinggal.

Rumahnya sederhana. Di teras rumah, terdapat mesin pengolah kopi yang berjajar rapi. Berbatasan langsung dengan hutan pinus dan kebun kopi, rumahnya nampak sejuk nan asri.

Karnadi dan Kelompok Tani Dwi Tunggal

Selain sebagai petani, Karnadi juga tercatat sebagai anggota Kelompok Tani Dwi Tunggal. Kelompok tani ini berdiri sejak 2002. “Dulu, ada enam kelompok tani di Kalipucang. Kelompok Arobusta 1 sampai 6 justru vakum setelah sekolah lapang, tidak ada kegiatan lanjutan. Berawal dari sini, terbentuklah Dwi Tunggal yang merupakan penggabungan antara kelompok tani Arobusta 4 dan Arobusta 5 yang berada di Dusun Cikur,” kenang Karnadi.

BACA :  Dulu Gersang, Kini Rindang: Kisah Desa di Gresik yang Bangkit dari Kekeringan

Hingga saat ini, Dwi Tunggal telah melalui tiga kali pergantian kepemimpinan. Karnadi menjabat sebagai ketua kelompok sejak 2005. Di awal kepemimpinannya, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki dan mengaktifkan lagi laju kelompok tani.

Setelah setahun ia pimpin, Dwi Tunggal mampu membangun kerjasama dengan perusahaan Gonden Harvesindo untuk memproduksi kopi ekspor hingga pada 2010. Menurut Karnadi, kerjasama tersebut bukanlah usahanya semata. Namun, hal tersebut terwujud karena atas usaha bersama dari seluruh anggota kelompok.

Waktu terus berlalu, perkembangan kelompok tani yang ia pimpin makin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari adanya bimbingan dan bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten. Bantuan alat berupa mesin pemisah kulit, mesin pembubuk biji kopi dan alat pres pengemas diberikan kepada kelompok ini Dwi Tunggal. Tidak hanya itu, bahkan kelompok tani Dwi Tunggal juga berkesempatan untuk studi banding ke daerah lain.

“Kalau soal bantuan dan pendampingan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan sangat baik dan sangat membantu. Saya juga pernah mendapat pelatihan uji coba rasa kopi di Pusat Penelitian Kakao dan Kopi di Jember selama 4 hari,” ujarnya.

Saat ini, ia beserta kelompoknya mulai berinovasi mengolah hasil pertanian menjadi produk siap konsumsi. Kopi bubuk premium dengan merek Kopi Bintang Sembilan adalah salah satu hasilnya. Meski belum diproduksi secara massal, geliat Karnadi untuk mewujudkan kopi bubuk produksi kelompok tani Dwi Tunggal terus ia usahakan. Berbagai pameran dan bazar ia ikuti untuk memperkenalkan produknya tersebut. Bahkan, ia juga telah mengurus proses perizinan usaha pada pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pasuruan.

BACA :  Membuat dan Merawat Hutan Sendirian, Inilah Sosok Suhendri

Ketika ditanya mengenai rencana di masa mendatang, Karnadi mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan pertanian di desanya. Pertama, berkurangnya lahan pertanian karena penguasaan lahan oleh perusahaan atau investor swasta dari luar desa. Kedua, sumber daya manusia untuk sektor pertanian dan perkebunan semakin langka. Sebagian besar angkatan kerja asal Kalipucang memilih bekerja di luar wilayah desa atau bekerja di perusahaan.

“Masalah kemampuan manajemen pengelolaan budidaya kopi sampai pada manajemen bisnis dan pemasaran juga menjadi masalah utama kelompok tani kami, saya pikir itu yang perlu diperbaiki agar tidak ada alasan lahan dibeli investor atau juga generasi penerus memilih bekerja di luar,” harapnya.

Bagi Karnadi, untuk mengembangkan suatu kelompok, terkhusus kelompok tani, dibutuhkan kerjasama dan kolaborasi antar semua stakeholder. “Mengapa begitu, karena ini urusannya dengan semua pihak yang ada di desa. Jika hubungan yang terjalin itu baik, maka akan menghasilkan hal yang baik pula,” tegasnya dengan nada penuh keyakinan. [Tri]

Author: Redaksi