Sisi Lain Keindahan Bromo yang Tak Diketahui

0

Pesona wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia bahkan sampai mancanegara. Taman nasional tersebut sangat luas karena mencakup empat kabupaten, yaitu Malang, Probolinggo, Pasuruan, dan Lumajang. Pada hakikatnya taman nasional dinilai sebagai sumber daya alami dan kultural yang dimiliki oleh negara. Konsep taman nasional atau konservasi ialah untuk menihilkan aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah konservasi tersebut. Taman nasional pun dimanfaatkan untuk sarana rekreasional serta area untuk edukasi kultural. Berbagai pihak mulai dari pemerintah sampai masyarakat berperan penting untuk menjaga keberlanjutan sumber daya di TNBTS.

Mayoritas wisatawan datang untuk menikmati pemandangan alam yang masih asri. Memang tidak dapat dipungkiri ada banyak keeksotisan alam yang bisa diabadikan oleh wisatawan, misalnya lautan pasir, sunrise, bukit teletabis, kawah bromo, dan masih banyak lagi. Namun, sebenarnya Bromo memiliki potensi wisata unik yang lebih dari keeksotisan alam. Bromo identik dengan keberadaan Suku Tengger yang tersebar luas di daerah sekeliling Bromo. Salah satunya yaitu berada di Desa Podokoyo. Masyarakat Tengger dikenal dengan tradisi adatnya yang masih kental. Mereka yang mayoritas beragama Hindu masih berkomunikasi dengan leluhur mereka lewat upacara-upacara adat. Salah satu upacara yang masih dilakukan ialah upacara Kasada. Banyak orang yang merasa penasaran dengan upacara tersebut dan merasa terbatas untuk berpartisipasi di dalamnya. Sebenarnya seperti apa upacara Kasada pada masyarakat Tengger? Bolehkah wisatawan ikut serta meramaikan upacara tersebut?
Upacara Kasada sering dikaitkan dengan legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Diceritakan bahwa setelah menikah mereka belum juga memiliki keturunan dan memutuskan bersemedi di Gunung Bromo. Dewa pun memberikan mereka anak dengan syarat mereka harus mengorbankan anak bungsu mereka. Akhirnya mereka mengorbankan Kesuma untuk menepati janji dan mencegah kemurkaan dewa. Ada yang menyebutkan bahwa Kesuma meminta masyarakat Tengger untuk memberikan sesaji ke kawah Bromo setiap tahun sebagai persembahan pada Hyang Widi.

BACA :  Mengenal Pokdarwis, Ujung Tombak Wisata Desa

Hingga saat ini masyarakat Tengger di Podokoyo pun masih melakukan upacara Kasada. Biasanya tetua dan dukun pada masyarakat Tengger yang memimpin upacara ini. Mereka berkumpul di kaldera Gunung Bromo. Pada saat upacara Kasada 18 Juli 2019 lalu, beberapa masyarakat Tengger berangkat menuju kaldera pada tengah malam. Dalam perjalanan, beberapa kali mereka berhenti untuk berdoa di pura. Sesampainya di pura utama di tengah kaldera, ada pemilihan dukun di setiap kabupaten yang memasuki wilayah Tengger. Mampu atau tidaknya mereka mengemban tanggung jawab sebagi dukun ditentukan dari kelancaran mereka merapal doa yang terbilang panjang. Suhu udara saat itu mencapai sekitar 12ºC. Namun tentunya itu tidak menjadi penghalang.

Di sisi lain, wisatawan boleh menyaksikan prosesi upacara ini di luar pembatas yang sudah dibuat. Mereka saling berdesakan ingin mengabadikan momen ini lewat kamera. Ada pula yang merasa cukup dengan sekadar menikmati atmosfer kesakralan yang tercipta lewat lantunan doa yang diucapkan oleh dukun-dukun saat itu.

Seusai prosesi di atas, mereka berjalan bersama-sama menyalakan obor dan membawa ongkek-ongkek menuju kawah Bromo. Ongkek-ongkek merupakan hasil bumi berupa buah-buahan dan sayur yang dipanen dari kebun beserta dengan hewan ternak mereka. Sesampainya di puncak mereka melemparkan ongkek-ongkek tersebut ke dalam kawah. Sebelum matahari terbit upacara ini pun telah usai. Upacara Kasada ini sebagai bentuk syukur mereka atas hasil bumi yang mereka dapatkan sekaligus bentuk komunikasi dengan leluhur agar melindungi tanah mereka dari hal-hal buruk. Oleh karena itu, mereka melakukan upacara Kasada ini setiap tahun. Inilah nilai-nilai tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger dan diharapkan menjadi sumber pengetahuan lokal bagi masyarakat luas. Di sisi lain, ini menjadi potensi wisata kultural yang bisa dinikmati oleh wisatawan.

Author: Yayuk Windarti