Pentingnya Menyumbang di Acara Nikahan Desa

0
Ilustrasi tradisi menyumbang

Pada hakikatnya, manusia saling berkomunikasi dengan bertukar simbol. Pertukaran simbol pun memiliki banyak bentuk. Salah satunya melalui pertukaran hadiah yang oleh Marcell Mauss disebut dengan istilah potlatch. Apa yang dimaksud dengan potlatch ialah pertukaran hadiah yang menuntut balasan dengan nilai yang setara antara pemberi dan penerima.

Hubungan timbal balik ini sudah dimulai sejak lama, Levi Strauss dalam tulisannya yang berjudul “The Elementary Structures on Kinship” sempat menyebutkan potlatch di wilayah Indian Alaska dan Vancouver. Komoditas yang dipertukarkan dalam tradisi ini bentuknya beragam. Mulai dari permadani, tembaga, wine, dan masih banyak lagi. Biasanya potlatch dipraktikkan dalam perayaan maupun upacara pernikahan, kelahiran, bahkan kematian. Dalam potlatch, nilai yang melekat pada barang yang dipertukarkan bukan hanya nilai ekonomis, melainkan juga prestise.

Potlatch hari ini pun bervariasi. Bahkan saya kerap melihat potlacth pada masyarakat desa. Pernahkah Anda datang ke pesta pernikahan ? Misalnya saja pernikahan pada masyarakat Jawa. Di Desa Baturan, sebuah desa kecil di Jawa Tengah tempat saya tinggal, masih ditemukan tradisi “jagong” atau mungkin di daerah Jawa Timur-an disebut dengan “buwuh”.

Dalam jagong maupun buwuh biasanya secara sadar kita memberikan sumbangan berupa uang maupun hasil panen pada pengantin. Maklum saja di desa saya mayoritas penduduknya adalah petani yang juga memiliki kebun palawija. Alhasil ketika ada yang menikah, hasil bumi seperti beras, pisang, singkong, dan sejenisnya tidak luput untuk disumbangkan.
Mereka mengemas sumbangan tersebut dalam karung khas berwarna putih dengan logo segitiga biru yang juga ditandai dengan nama penyumbang. Ada pula yang memasukkannya dalam tenggok bambu. Beragam dan sungguh menyenangkan mengamati hiruk pikuk nuansa sumbang menyumbang ini.

BACA :  Pendekatan RRA (Rapid Rural Apprasial)

Uniknya, sumbangan-sumbangan tersebut akan dibawa ke wingking atau belakang rumah untuk dicatat. Orang yang mengadakan pesta pernikahan sudah menyiapkan buku besar untuk menuliskan siapa menyumbang apa. Perhitungan ini tentunya penting dan tidak boleh luput. Sebab sumbangan tersebut dihitung sebagai hutang yang akan dibayar setimpal ketika penyumbang tersebut bergantian menjadi penyelenggara hajatan. Catatan tersebut pun menjadi patokan untuk menilai seberapa besar prestise orang yang menyumbang.

Setelah dipikir-pikir mereka sebenarnya harus mengorbankan banyak uang, barang, dan jasa untuk melanjutkan permainan potlatch ini. Bahkan mereka juga tidak tahu bagaimana harus menghentikan siklus ini. Kalau tidak saling membalas, sepertinya selain sungkan bisa-bisa menjadi bahan pergunjingan dan dikucilkan karena tidak cakap dalam memahami aturan main potlatch.

Benar saja, Hogbin dalam tulisan Levi Strauss pun menyebutkan bahwa tidak ada mitra yang memperoleh keuntungan materi nyata dari pertukaran tersebut. Bahkan ada tendensi kerelaan menghabiskan kekayaan demi memperoleh pengakuan prestise dari mitra penerima hadiah. Walaupun ya, saya akui potlatch memang berhasil mempererat hubungan persahabatan maupun kekerabatan dalam masyarakat desa.

BACA :  Pesona yang Hanya Dimiliki oleh Desa

Hanya semakin dijalankan saya semakin sadar tradisi ini layaknya dua sisi mata uang. Kalau saja saya tidak membalas hadiah mereka, alih-alih bersatu justru kami bisa saling bermusuhan. Bahaya juga kan. Motif barangnya saja yang ekonomis, namun ada banyak misteri di dalamnya.

Tradisi yang terus berjalan ini memang memiliki fungsi yang penting. Potlatch mampu memperluas jaringan kekerabatan serta merekatkan individu-individu yang tidak terikat pertalian darah sekalipun. Tradisi sumbang menyumbang pun terbukti mampu menyeimbangkan masyarakat desa. Oleh karena itu penting untuk terus melestarikannya.

Claude Levi Strauss. The Elementary Structures on Kinship. Beacon Press, Boston, 1969 (1949). (Bab 1 dan Bab 5).

Author: Yayuk Windarti