Melihat Perilaku Berbagi pada Petani

0

Pernahkah kita merasa bahwa perilaku petani membingungkan? Alih-alih menggunakan hasil panennya untuk menambah tenaga kerja maupun menambah alat produksi. Mereka justru sering membagikan hasil panen pada sanak saudara. Baik berupa beras maupun uang. Semua dilakukan tanpa paksaan maupun aturan tertulis. Namun bila diperhatikan ada dorongan budaya yang melatarbelakangi perilaku mereka.

Mengingat keluarga saya merupakan petani, saya cukup familiar dengan ritme petani yang sekali lagi begitu membingungkan ini. Sebelum panen mereka harus mengolah tanah dengan telaten. Namun, ketika panen tiba kenapa juga repot-repot berbagi sana sini? Hal ini tentu saja tidak bisa disamakan dengan cara pegawai memanfaatkan gaji bulanan mereka.

Petani memiliki orientasi kognitif bersama yang oleh George M. Foster disebut sebagai “image of limited good”. Ada asumsi bahwa hal-hal baik dalam hidup, seperti halnya kekayaan, kesejahteraan, kesehatan, prestise, bahkan kebahagiaan tidak sepenuhnya milik kita.

Sebenarnya gagasan ini juga dapat diaplikasikan pada masyarakat selain petani. Misalnya saja perihal kesehatan, beberapa masyarakat percaya jika ada seseorang yang meninggal di umur 40, sebenarnya telah membagikan umurnya pada orang yang hidup mencapai usia 90 tahun. Lain halnya dengan kekayaan dan kebahagiaan, ada yang membagikannya lewat pesta perayaan. Jika petani, mereka secara sederhana membagikan kekayaannya lewat berbagi pada sanak saudara. Petani memiliki dorongan untuk membagikan hal-hal tersebut seolah ada kesepakatan bersama sebelumnya. Namun, begitulah budaya bekerja. Sulit bagi kita untuk menyebutkan secara pasti dari mana anggapan ini bermula.

BACA :  Mengenal Geowisata

Menurut saya proses sebelum panen juga mempengaruhi pembentukan “image of limited good”. Petani memang menggarap tanahnya masing-masing tapi mereka tidak benar-benar menjalankannya sendiri. Masa menanam mereka biasanya dilakukan secara bebarengan. Kalau hanya satu petani saja yang menanam padi bisa kacau. Sebab, ia tidak bisa menghadapi hama sendirian.

Selain itu, saat kemarau tiba petani secara rajin mengecek air yang dialirkan oleh dharma tirta, organisasi petani yang mengatur sumber daya air. Ada jadwal yang sudah ditentukan agar pembagian air bisa merata. Hanya saja memang ada beberapa petani nakal yang menyumbat saluran air demi lahannya sendiri. Cek-cok pun tidak terhindarkan. Namun yang jelas di sini dapat dilihat bagaimana mereka membentuk aturan berbagi untuk meratakan sumber daya yang ada. Singkatnya, sebuah kesepakatan kolektif untuk membentuk keteraturan.

Di sisi lain, sebelum hari ini, petani kerap kali dicitrakan sebagai kelompok yang pencemburu, berorientasi pada tradisi, dan cenderung memegang prinsip yang sama. Menurut Foster, mereka yang percaya bahwa kebaikan memiliki keterbatasan biasanya menyembunyikan kesuksesan mereka sendiri dan iri terhadap orang lain, mereka juga takut ditipu sehingga menghindari kerja yang kooperatif, dan tidak sedikit yang menolak adanya inovasi. Bahkan ada sanksi bagi yang terbuka terhadap inovasi. Jadi, apa yang dicapai oleh satu petani seharusnya bisa dirasakan oleh petani-petani yang lain.

BACA :  Negeri Di Atas Angin Bojonegoro

Namun, ada beberapa hal yang sedikit berbeda jika kita melihat konteks hari ini. Ada banyak petani yang sudah menerima perubahan dan inovasi teknologi. Beberapa sudah menggunakan traktor untuk mengolah tanah dan teknologi canggih untuk memanen padi. Walaupun ya, sekali lagi mereka melakukannya secara serentak dan seragam. Deskripsi ini pun saya rasa cukup untuk menggambarkan bagaimana masyarakat petani memaknai keberhasilan kolektif. Kita bisa melihat mekanisme petani dalam bertahan hidup yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan bergantung pada kerja sama kolektif.

Author: Yayuk Windarti